Sengketa Tanah: Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah di Indonesia

Tanah merupakan aset jangka panjang yang nilainya dapat terus naik. Tak ayal, Aset ini menjadi ladang basah bagi para mafia tanah. Oknum-oknum nakal ini mengakibatkan polemik sengketa tanah semakin sulit dihindari. Keadaan ini menuntut adanya evaluasi proteksi kepemilikan hak atas tanah untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Berbicara mengenai proteksi kepemilikan tanah, tentu kita akan berbicara mengenai sistem publikasi negatif dan positif. Indonesia mengenal sistem yang disebut dengan sistem publikasi negatif. Sistem inilah yang disebut-sebut tidak cukup memberikan kepastian hukum bagi pemilik sertifikat tanah sekalipun.
Implikasi Sistem Publikasi Negatif dalam Sengketa Tanah
Sebagaimana disebutkan sebelumya, sistem publikasi yang berlaku di Indonesia merupakan sistem negatif. Potensi adanya sengketa dapat timbul karena pendaftaran tanah yang menganut asas negatif, dimana belum tentu seseorang yang tertulis namanya pada sertifikat maupun buku tanah adalah sebagai pemilik yang mutlak.
Kelebihan dari sistem publikasi negatif diantaranya pemegang hak yang sesungguhnya akan terlindungi dari pihak lain yang bukan sebagai pemilik sejati, adanya penyelidikan Riwayat tanah sebelum penerbitan sertipikat dan tidak adanya batasan waktu bagi pemilik tanah yang sesungguhnya untuk menuntut haknya yang telah didaftarkan pihak lain. Adapun kelemahan sistem publikasi negatif ini adalah tidak adanya kepastian atas keabsahan sertifikat karena setiap saat dapat digugat atau dibatalkan.
Sistem publikasi negatif di Indonesia ini tercermin dalam beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung Berikut:
- Putusan MA tanggal 18 September 1975 No. 459 K/Sip/1975 menentukan” mengingat stelsel negatif tentang register/pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia, maka pendaftaran tanah nama seseorang di dalam register bukanlah berarti absolut menjadi pemilik tanah tersebut apabila ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain.”
- Putusan MA pada tanggal 2 Juli 1974 No. 480K/Sip/1973 menentukan “pengoperan hak atas tanah menurut Pasal 26 UUPA jo. PP No. 10 Tahun 1961 harus dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan tidak dapat dilaksanakan seseorang di bawah tangan seperti halnya sekarang, cara yang harus ditempuh oleh penggugat. Kalau pihak tergugat tidak mau memenuhi perjanjian tersebut dengan sukarela, penggugat dapat memohon agar kedua akta di bawah tangan itu oleh pengadilan dinyatakan sah dan berharga, serta mohon agar tergugat dihukum untuk bersama-sama dengan penggugat menghadap kepada seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk membuat akta tanah mengenai kedua bidang persil tersebut”.
Unsur Publikasi Positif untuk Hindari Sengketa Tanah dalam UUPA
Penggunaan unsur positif dalam sistem publikasi negatif diterapkan dalam hukum di Indonesia, bertujuan untuk menghindari timbulnya sengketa tanah. Boedi Harsono menyatakan bahwa sistem Publikasi pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia adalah sistem negatif yang mengandung unsur positif.
Adanya unsur positif ini tercermin dari diaturnya pendaftaran tanah, dan pengadaan sertifikat sebagai bukti kuat dalam membuktian kepemilikan tanah, seperti dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA.
Berkaitan dengan penerapan sistem publikasi negatif di Indonesia, Mariam Badrulzaman menyatakan bahwa aspek stelsel negatif terwujud dari perlindungan hukum bagi pemilik sejati hak atas tanah lewat asas nemo plus yuris, sedangkan aspek stelsel positif terlihat dari kewenangan dan campur tangan pemerintah dalam pendaftaran hak atas tanah, dimana PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), dan seksi pendaftaran tanah yang menekankan kebanaran data dalam setiap peralihan hak atas tanah.
Sejalan dengan ini, Menurut Ny Arie S. Hutagalung, dalam praktiknya kedua sistem ini tidak pernah diterapkan secara murni. Meskipun di Indonesia terdapat asas nemo plus juris yang memberikan peluang kepada pemegang hak sejati untuk membuktikan kepemilikan tanahnya, keberadaan aturan lain seperti jangka waktu maksimum 5 tahun untuk mengklaim kepemilikan tanah, pasca diterbitkannya sertifikat atas tanah tersebut, mencerminkan adanya unsur positif dalam UUPA.
Upaya Mengindari dan Menangani Sengketa Tanah
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, UUPA menganut sistem publikasi negatif tidak murni. Sistem publikasi negatif memberikan perlindungan hukum bagi pemilik hak sejati. Sedangkan, adanya unsur positif pada sistem publikasi negatif di Indonesia memberikan perlindungan hak bagi pemilik sertifikat. Upaya menghindari bahkan menangani Sengketa Tanah dapat dilakukan dengan memanfaatkan kedua unsur tersebut.
Pemanfaatan unsur positif dilakukan dengan melakukan due process of law, serta pemahaman terhadap proses pendaftaran tanah yang memadai. Pastikan proses pendaftaran tanah telah sesuai dengan aturan UUPA dan melibatkan pihak-pihak yang berwenang baik PPAT maupun Badan Pertanahan setempat.
Pemanfaatan sistem publikasi negatif dapat dilakukan mulai dari upaya preventif yakni memastikan penyimpanan dokumen-dokumen jual-beli tanah tersusun rapi secara historis, hingga upaya kuratif dengan mengajukan keberatan penerbitan sertifikat atas tanah yang telah diklaim pihak lain.
Kesimpulan
Penyelesaian sengketa tanah adalah benang kusut yang memerlukan keahlian khusus. Diperlukan pemahaman yang baik terkait prosedur pendafataran tanah di Indonesia. Adanya sistem publikasi negatif menjadikan hal ini sulit dihindari. Kendati demikian, keterlibatan unsur positif dapat memberikan kepastian hukum bagi pemegang sertifikat tanah di Indonesia.
Daftar Pustaka
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah, Pembentukan, Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), Jakarta: Djambatan, 2008.
Baca juga : Bolehkah Kantor Hukum Berbentuk Persekutuan Perdata?